Jumat, 11 September 2009
SWOT Analysis vs SOAR Analysis
Biasanya, SWOT diawali dengan melakukan review pernyataan visi dan misi, yang dilanjutkan dengan review terhadap tujuan, sasaran, strategi, rencana, dan kebijakan yang ada. Setelah dilakukan review terhadap situasi saat ini dan masa lalu, mulailah dilakukan analisis SWOT. Melalui analisis ini, data-data dikumpulkan guna menjawab pertanyaan mengenai kondisi organisasi saat ini dan di masa depan (strengths, weaknesses) serta prediksi mengenai pasar/industri yang dimasuki (opportunities, threats). Berdasarkan analisis SWOT, rekomendasi dibuat guna menentukan strategi alternatif yang terbaik bagi organisasi.
Menurut para pencetus SOAR, dalam kaitannya dengan perubahan yang akan dilakukan oleh organisasi, analisis SWOT ini memiliki kekurangan. Dalam proses perencanaan dengan analisis SWOT, perusahaan harus menghabiskan sebagian waktunya guna memikirkan hal-hal positif (strengths, opportunities) dan sebagiannya lagi untuk mengurusi hal-hal negatif (weaknesses, threats). Namun kenyataannya, manusia cenderung lebih suka menonjolkan hal-hal negatif (weaknesses, threats). Padahal, kita cenderung lebih suka melupakan kekurangan dan pengalaman buruk yang terjadi di masa lalu. Kita akan lebih termotivasi manakala menyadari bahwa kelebihan atau kekuatan yang kita miliki dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan organisasi.
Untuk itulah Stavros, Cooperrider, dan Kelly menawarkan konsep SOAR (Strengths, opportunities, aspirations, results) sebagai alternatif terhadap analisis SWOT., yang berasal dari pendekatan Appreciative Inquiry (AI). Pendekatan AI lebih menitikberatkan pada pengidentifikasian dan pembangunan kekuatan dan peluang ketimbang pada masalah, kelemahan, dan ancaman.
Pendekatan SOAR terhadap rencana strategis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan model tradisional. Analisis SOAR memungkinkan anggota organisasi menciptakan masa depan yang mereka inginkan sendiri dalam keseluruhan proses dengan cara melakukan penyelidikan, imajinasi, inovasi, dan inspirasi. Fokus internal SOAR adalah kekuatan organisasi. SOAR juga digunakan untuk analisis eksternal, misalnya analisis mengenai pemasok dan pelanggan. Keuntungan lainnya berkaitan dengan partisipasi. Pada banyak organisasi, perencanaan strategis hanya melibatkan orang-orang pada tingkatan tertinggi serta sekelompok stakeholder. Namun dalam kerangka kerja SOAR, sebanyak mungkin stakeholder dilibatkan, yang didasarkan pada integritas para anggotanya. Masalah integritas menjadi sangat penting karena para stakeholder harus menyadari asumsi-asumsi yang menjadi dasar penggerak bagi para pemimpin organisasi.
Analisis SOAR bagi perencanaan strategis dimulai dengan penyelidikan (inquiry) yang menggunakan pertanyaan positif guna mempelajari nilai-nilai inti, visi, kekuatan, dan peluang potensial. Dalam fase ini, pandangan-pandangan dari setiap anggota organisasi dihargai. Penyelidikan juga dilakukan guna memahami secara utuh nilai-nilai yang dimiliki oleh para anggota organisasi serta hal-hal terbaik yang pernah terjadi di masa lalu. Kemudian anggota organisasi dibawa masuk ke dalam fase imajinasi, memanfaatkan waktu untuk "bermimpi" dan merancang masa depan yang diharapkan. Dalam fase ini, nilai-nilai diperkuat, visi dan misi diciptakan. Sasaran jangka panjang dan alternatif strategis dan rekomendasi diumumkan. Fase ketiga adalah inovasi, yaitu dimulainya perancangan sasaran jangka pendek, rencana taktikal dan fungsional, program, sistem, dan struktur yang terintegrasi untuk mencapai tujuan masa depan yang diharapkan. Guna tercapainya hasil terbaik yang terukur, karyawan
harus diberikan inspirasi melalui sistem pengakuan dan penghargaan.
Salah satu contoh sukses dari pemanfaatan analisis SOAR ini adalah kisah Roadway Express, sebuah perusahaan transportasi yang berpusat di Akron, Ohio (AS), yang pada suatu saat menyelenggarakan sebuah meeting tentang perencanaan strategis di salah satu fasilitas mereka di Winston-Salem. Hampir 300 orang yang terdiri dari pekerja dan pengemudi berkumpul bersama-sama dengan manajemen dan pelanggan serta para stakeholder lain dari wilayah Winston-Salem guna mendiskusikan strategi menjadikan perusahaan sebagai pemimpin dalam industri transportasi. Di hari pertama meeting, mereka memetakan seluruh kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar. Hari kedua, mereka mengidentifikasikan peluang-peluang bisnis, yang diikuti dengan artikulasi aspirasi yang lebih selektif. Pada hari ketiga, aspirasi ini dibuat menjadi lebih konkret dan spesifik, yang kemudian diterjemahkan ke dalam hasil-hasil yang telah diantisipasi, termasuk seleksi
kebijakan-kebijakan dan pengukuran-pengukuran bisnis yang cermat. Hasilnya pada tahun berikutnya Roadway Express mengalami peningkatan pendapatan kurang lebih sekitar 25%.
Harga sahamnya pun mengalami kenaikan. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih banyak menyelenggarakan meeting sejenis guna membahas perencanaan strategis. Namun bagi Roadway Express, meeting seperti ini bukan hanya bertujuan untuk menyusun strategi yang lebih baik, namun juga bagi pengembangan sumber daya manusia. Roadway Express ingin menyusun proses pemikiran strategis yang dapat dimanfaatkan dalam aktivitas keseharian perusahaan guna menangkap peluang-peluang baru. Setelah diselenggarakannya sebuah pertemuan di Akron, misalnya, sekelompok ahli mekanik menciptakan sebuah visi yang berpotensi menciptakan penghematan hingga bernilai milyaran dolar. Dalam contoh lain, pertemuan di Winston-Salem telah menjadikan para pengemudi bersedia secara sukarela menjadi tenaga penjual produk perusahaan. Hal ini
mampu meningkatkan pendapatan perusahaan senilai lebih dari satu juta dollar AS.
Menurut para pencetusnya, SOAR mampu menghasilkan sebuah energi yang bertahan lama serta menghidupkan kreativitas. SOAR menghargai arti sebuah kekuatan dan kesuksesan sekecil apapun, karena terjadinya hal-hal yang besar selalu diawali dari hal-hal kecil.
Memang kehadiran SOAR relatif masih hijau dibandingkan kemapanan SWOT, dan masih perlu pembuktian eksistensinya lebih lanjut. Namun tawaran alternatif ini akan semakin memperkaya khasanah analisis strategis.
Sent: 28 Mei 2007
Sumber: http://appreciativeorganization.wordpress.com/2007/06/08/swot-vs-soar/
http://www.gsn-soeki.com/wouw/
SOAR sebagai strategic planning framework sudah mulai dikenal khalayak. Beberapa orang sudah membicarakan, mencari tahu, dan bahkan mungkin mempelajari.
Salah satu pandangan yang berkembang adalah mensejajarkan begitu saja antara SOAR dengan SWOT. Sebenarnya dimana sih titik bedanya?
1. Subtansi yang dianalisis. Dari SWOT menjadi SOAR yaitu:
Strength: Apakah aset terbesar yang kita?
Opportunity: Apakah peluang pasar yang paling memungkinkan?
Aspirations: Bagaimanakah masa depan yang kita inginkan?
Result: Apakah hasil-hasil yang dapat diukur?
2. Proses yang dilakukan. SOAR menggunakan pendekatan Appreciative Inquiry
Top down vs whole system
Tidak terbuka vs terbuka/partisipatif
Incremental/Evolusi vs Real-time/Revolusi
Organisasi hierarki vs Organisasi jaringan
Menahan informasi vs Sharing informasi
Perbedaan yang terasa secara nyata di lapangan sebenarnya justru pada ciri proses yang dilakukan. Ketika subtansi yang dianalisis menggunakan SOAR tetapi prosesnya tetap sebagaimana yang digunakan dalam SWOT maka perbedaannya tidak sungguh-sungguh nyata.
APA SALAHNYA SWOT MENGAPA BERALIH KE SOAR
Pertanyaan ini selayaknya tidak ditanggapi sebagai pertanyaan hypothetis, atau ditafsirkan sebagai perangsang brainstorming mengenai suatu konsep. Bahasan ini tidak bermaksud menambah wacana bagi Anda. Bahasan ini praktikal untuk sesuatu yang berbasis solution oriented, baik menyangkut masalah perusahaan/bisnis maupun kendala personal/individual.
Jika pun Anda memiliki argumentasi untuk tidak menyepakati pendekatan ini, layak saja untuk dihargai. Tetapi menemukan suatu pendekatan diluar yang selama ini Anda yakini selalu berharga untuk membekali business plan Anda.
SWOT kita ketahui berprinsip pemetaan komprehensif, dari sisi kekuatan dan peluang yang berbanding dengan kelemahan serta ancaman. Tidak ada yang salah dari “pemotretan” demikian, sebagaimana best practice management selama ini. Namun penelitian pada Fortune 400 di dunia menemukan suatu hal perlu diprihatinkan. Kebanyakan kita terjebak pada upaya menyusun program (dan mengeluarkan biaya luar biasa) untuk mengatasi kelemahan, membentengi diri dari ancaman, sedemikian rupa hingga kita lupa sebuah solusi sederhana: hadapilah dengan modal yang sudah Anda miliki sebelumnya: kekuatan! Lebih memprihatinkan lagi, ternyata faktor kelemahan tidak selesai diatasi, sementara faktor kekuatan (yang tidak dipelihara oleh program yang berfokus kesana) semakin menyusut, dan makin melemahkan kita sendiri. Adakah yang lebih tragis dari itu ?!
SOAR memberi solusi dengan mengetengahkan teknik berfokus pada kekuatan. Malah menjadikan peluang untuk segera diadopsi menjadi kekuatan dengan membangkitkan aspirasi agar berwujud hasil (S=strength, O=opportunity, A=aspirasi, R=result). Dengan demikian pendekatan ini dapat diaplikasikan pada perusahaan yang terancam kompetisi, hingga kesejahteraan personal yang tengah menghadapi badai rumahtangga. Sekali lagi tidak dengan menafikan kelemahan, melainkan dengan memperkuat kekuatan sehingga memberi efek menyusutkan kelemahan dan menurunkan skala ancaman. Dapat dimaklumi ?! Cek dan terapkan hal ini dalam kasus sederhana sehari-hariAnda, lalu bandingkan hasilnya.
Global Strategy Theory
Merkantilisme adalah suatu sistem politik ekonomi yang sangat mementingkan perdagangan internasional dengan tujuan untuk memperbanyak aset dan modal yang dimiliki suatu negara. Merkantilisme tertuang dalam peraturan negara yang berbentuk proteksionime dan politik kolonial demi neraca perdagangan yang menguntungkan. Pemerintah negara mendukung ekspor dengan insentif dan menghadang import dengan tarif.
Kekayaan dan kemakmuran suatu negara diukur dari perbandingan ekspor impornya yang digambarkan dengan jumlah kapital dari logam mulia, mineral berharga dan komoditas lainnya. Seolah-olah ekspor dan impor berada dalam suatu timbangan di mana jika ekspor berlebih maka neraca perdangangan dianggap untung. Dengan adanya keuntungan maka terjadi peningkatan pendapatan negara yang harus dibayar & diimbangi secara tunai dengan emas.
Aspek-Aspek Politik Merkantilisme :
1. Ekonomi : Berupaya mendapatkan emas sebanyak-banyaknya.
2. Tariff : pembatasan impor dengan tarif tinggi untuk barang dari negara lain.
3. Industri : Menggalakkan industri barang jadi untuk mengingkatkan ekspor.
4. Perkapalan : Act of Navigation sangat membantu perkapalan Inggris.
5. Penduduk : Meningkatkan jumlah penduduk agar bisa meningkatkan jumlah output produk Industri.
6. Kolonial : Negara daerah jajahan dipergunakan sebagai penjual hasil dan laveransi bahan dasar.
ABSOLUTE ADVANTAGE (Adam Smith)
Teori Keunggulan Absolut (Adam Smith) Bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak.
Adam Smith menjungkir-balikkan pandangan merkantilisme. Dia mengatakan, justru kalau sebuah negara mengijinkan warganya untuk bebas mengadakan ekspor-impor, maka negara itu akan makmur, dan demikian pula negara lain, dan banyak negara lain. Perdagangan bebas, katanya, akan mendatangkan "wealth of nations." Smith berpendapat bahwa kemampuan individu tidaklah sama, ada yang pandai untuk hal tertentu, tidak untuk yang lain. Begitu pula sebuah negara, mengingat kemampuan individu-individu yang ada di dalamnya maupun kekayaan alam yang dimilikinya. Inggris mampu memproduksi kain wool yang bagus, tetapi tidak untuk anggur. Sementara Portugal dapat menghasilkan anggur yang sangat enak, tetapi tidak untuk kain wool. Kalau kedua negara ini mengadakan tukar-menukar barang, maka rakyat kedua negara itu akan memakai kain wool yang bagus dan minum anggur yang enak. Kalau dua negara mengadakan proteksionisme, Inggris hanya pakai kain wool yang bagus, tetapi tidak minum anggur yang enak. Demikian sebaliknya dengan Portugal, minum anggur yang enak, tetapi pakai kain wool yang jelek.
Adam Smith menganjurkan agar negara-negara mengadakan spesialisasi, dan atas dasar spesialisasi ini mengadakan tukar-menukar atau perdagangan. Dengan cara ini negara-negara di seluruh dunia akan menikmati kesejahteraan karena menikmati produk-produk yang terbaik. Menurut Adam Smith, kekuatan-kekuatan pasar yang seharusnya menentukan arah, volume dan komposisi perdagangan internasional, bukan dikendalikan oleh pemerintah.
Teori absolute advantage ini didasarkan kepada beberapa asumsi pokok antara lain:
• Faktor produksi yang digunakan hanya tenaga kerja saja.
• Kualitas barang yang diproduksi kedua negara sama.
• Pertukaran dilakukan secara barter atau tanpa uang.
• Biaya transpor ditiadakan.
COMPARATIVE ADVANTAGE (David Ricardo)
Teori atau konsep comparative advantage ini dikembangkan oleh David Ricardo sebagai koreksi dari teori absolute advantage-nya Adam Smith. Dengan teori David Ricardo inilah perdagangan antar negara dapat terjadi walaupun negara tersebut tidak mempunyai keunggulan bersaing absolut.
Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya.
Keunggulan comparative dapat dicontohkan, apabila suatu wilayah geografis dapat menyediakan dan memproduksi suatu produk dengan cara yang lebih efisien dan murah atau dapat memberi peluang yang lebih baik untuk suatu bisnis daripada peluang untuk bisnis yang lain maka wilayah tersebut mempunyai comparative advantage. Brasil mempunyai peluang yang baik dalam produksi coffee, tetapi tidak untuk Norwegia. Indonesia mempunyai peluang yang lebih baik dalam bisnis labor intensive seperti produksi sepatu dan tekstil (milsanya; karena ongkos buruh yang murah). Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar kelebihan masing-masing.
Dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.
Suatu wilayah dikatakan mempunyai keunggulan comparative dalam produksi apabila wilayah tersebut mempunyai beberapa kondisi :
1. Tersedianya pakan yang murah (low fee cost)
2. Tersedianya biaya buruh (TH) yang murah (low labor cost)
3. Adanya iklim bisnis yang kondusif
4. Memproduksi dengan economies of scale
5. Adanya proses pembelajartan (experience curve)
6. Mempunyai akses ke teknologi dan informasi
Hukum keunggulan komparatif (The Low of Comparative Advantage) dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan.
Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja.
Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Salah satu kelemahan teori Ricardo adalah kenapa tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi, kenapa output persatuan input tenaga kerja dianggap konstan, dan tenaga kerja hanya dipandang sebagai faktor produksi.
Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan.
Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya disini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan.
Berikut adalah Model Ricardo :
• Sumber daya tidak mudah berganti/bergerak: contoh tanaman coklat diganti padi; buruh textil tidak bisa begitu saja menjadi tenaga di perusahaan pembuat jet.
• Diminishing return: jika pada keunggulan komparatif sumber daya dianggap konstan (constant return to specialization),pada kenyataannya tidak demikian,seringkali sumber daya menjadi langka/perlu input lebih. Krn kualitas beda,beda barang,beda pula proporsi sumber daya.
• Effek dinamis dan perkembangan ekonomi: perdagangan bebas dpt meningkatkan sumberdaya suatu negara(modal,tenaga kerja krn PMA) selain itu meningkatkan effisiensi.
RELATIVE FACTOR ENDOWMENTS (Heckscher – ohlin)
Theory Heckscher-Ohlin (1933) atau biasa disebut teori H-O sebagai salah satu teori yang berpengaruh dalam teori perdagangan murni. Teori ini mengajukan bahwa suatu negara akan mengekspor barang yang memiliki faktor produksi yang berlimpah secara intensif. Heckser-Ohlin mengemukakan bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional karena adanya perbedaan endowment. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masing-masing negara. Perbedaan tersebut menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif lebih banyak dan murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya masing-masing Negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam memproduksinya (Salvatore,2004).
Selanjutnya teori Heckscer Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa:
Komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) dekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak lansung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin,1933, hal. 92 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993).
Suatu negara dikatakan memiliki faktor produksi berlimpah (misalnya untuk tenaga kerja) jika rasio dari tenaga kerja terhadap faktor lainnya lebih besar dibandingkan rasio dari negara mitranya. Sedangkan suatu barang dikatakan padat tenaga kerja, jika biaya tenaga kerja merupakan bagian terbesar dari nilai barang tersebut dibandingkan dengan biaya faktor produksi lainnya. Heckscher-Ohlin (H-O) mencoba menjelaskan pola perdagangan dunia dengan pengungkapan spesifik mengapa terjadi perbedaan harga antar negara, sebelum negara tersebut melakukan perdagangan di antara mereka. Secara teoritis perdagangan terjadi karena ada perbedaan harga.
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab perbedaan harga, misalnya faktor permintaan atau perbedaan teknologi. Namun Heckscher-Ohlin (H-O) meragukan hal ini dan sebagai gantinya ia mengajukan konsep tentang faktor proporsi dalam penggunaan faktor produksi sebagai dasar dari perbedaan biaya komparatif. Menurut teori kelimpahan faktor produksi, perbedaan keunggulan komparatif suatu negara disebabkan karena faktor produksi / sumber daya (endowment) yang dimiliki oleh masing-masing negara. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor tanah atau natural resources, terdiri dari banyak elemen dari sumber alam yang memberikan kontribusi untuk memproduksi barang dan jasa. Natural resources bisa diklasifikasikan menjadi lahan pertanian, hutan, perikanan, dan sumber mineral. Faktor manusia di negara terbelakang dan miskin, tenaga kerja yang tersedia adalah tenaga kerja tanpa keahlian (Unskilled Labour) dan bekerja secara tradisional di sektor pertanian. Hanya bagian terkecil yang memiliki keahlian dan bekerja di sektor industri dan hanya bagian terkecil yang memiliki kemampuan teknik dan manajemen. Sebaliknya tenaga kerja di negara maju seperti Amerika dan Jepang adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dan banyak bekerja di sektor industri. Sehingga untuk mengukur perbedaan kualitas internasional dari faktor tenaga kerja bukan hal yang mudah namun itu penting (Franklin, 1990). Faktor selanjutnya yaitu faktor modal karena modal merupakan faktor dinamis terpenting dari produksi.
Ekonomi akan menjadi lebih produktif jika kenaikan penawaran dari modal relatif terhadap faktor penawaran dan dengan peningkatan kualitas dari modalnya. Karena penawaran dari pemberi investasi rendah, maka dalam jangka panjang tingkat suku bunga akan meningkat walaupun aliran investasi dari negara maju, hal ini terjadi karena tingkat rata-rata tabungan di negara maju lebih tinggi sehingga negara maju akan mendapat bagian keuntungan yang tinggi pula. Investasi internasional bias menjadi tambahan investasi domestic yang seharusnya membawa dampak penjumlahan keuangan Negara yang memiliki modal.
PRODUCT LIFE CYCLE (Raymond Vernon)
Raymond Vernon (1966) mengemukakan teori daur hidup produk internasional (international product life cycle theory). Bertolak dari keyakinan bahwa inovasi membutuhkan biaya besar dan hanya konsumen berpendapatan tinggi yang mampu membayarnya,maka terobosan industrial cenderung terjadi di negara maju (negara kaya).Dengan berjalannya waktu dan hasil inovasi menjadi baku (terstandardisasi), aspek biaya produksi menjadi semakin menentukan daya saing. Mengingat rata-rata upah di negara berkembang jauh lebih rendah dibanding negara maju, maka tanpa diminta pun para pengusaha dari negara maju akan memindahkan usahanya ke negara berkembang.
Ada ketidak sesuaian asumsi teori H-O sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan. Teori siklus kehidupan produk merupakan jawaban atas kegagalan teori H-O yaitu bahwa jalan hidup suatu produk menimbulkan keunggulan komparatif pada tiap tahap menciptakan perdagangan. Menurut model ini, pada tahap awal penciptaan sebuah produk baru dan pengenalannya ke pasar, biasanya proses produksinya mensyaratkan tenaga kerja terampil namun begitu produk itu matang dan telah memperoleh pasar yang luas, maka produk itupun menjadi standar (Salvatore:1997).
Menurut Sak Onkvisit dan John J. Shaw, berdasarkan teori IPLC terdapat lima tahapan, yaitu tahap I sampai tahap V yang memberi gambaran tentang perkembangan suatu produk. Tahapan-tahapan itu adalah (Hamdy:2001) :
1. Inovasi lokal
2. Inovasi di luar negeri
3. Maturity
4. Imitasi di luar
5. Pembalikan
Para pengusaha negara maju tersebut terus berkonsentrasi untuk menciptakan inovasi baru dan masuk pada industriindustri dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Jadi, negara berkembang sepantasnya memiliki ilmu ”tahu diri”dalam program industrialisasi. Industri-industri padat karya,padat sumber daya alam, dan memiliki potensi polusi yang tinggi, biasanya yang akan lebih dulu digeser ke negara berkembang. Negara maju hanya akan mengimpor produk jadi dari industri-industri tersebut.Dengan demikian, negara maju tetap dapat menikmati produk tersebut dengan harga lebih murah, tetapi konsekuensi negatifnya dapat dihindari.
Nobel Ekonomi diberikan kepada Paul Krugman atas analisisnya terhadap pola perdagangan dan lokasi dari aktivitas ekonomi. Pola – pola perdagangan dan lokasi menjadi isu penting dalam perdebatan ekonomi, antara lain :
• Apa dampak dari perdagangan bebas dan globalisasi ?
• Kekuatan apa yang ada di balik urbanisasi di seluruh dunia ?
Paul Krugman telah memformulasi sebuah teori baru untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut. (Nobelprize.org)
Teori Krugman disampaikan kepada publik dalam press release yang diberi judul International Trade and Economic Geography. Pendekatannya berdasarkan pada premis bahwa barang – barang dan jasa – jasa dapat diproduksi lebih murah pada jangka panjang, dimana konsep ini sering dikenal dengan dengan istilah economies of scales. Sementara itu, konsumen menuntut suatu penyediaan yang bervariasi dari barang-barang. Sebagai hasilnya, produksi skala kecil untuk suatu pasar lokal digantikan oleh produksi besar-besaran dari pasar dunia, di mana perusahaan dengan produk-produk yang serupa bersaing satu dengan yang lain.
Teori perdagangan tradisional berasumsi bahwa negara-negara mempunyai sifat yang berbeda dan menjelaskan mengapa beberapa negara-negara mengekspor hasil pertanian sedangkan yang lain mengekspor barang penghasil barang. Teori yang baru menjelaskan mengapa perdagangan di seluruh dunia kenyataannya dikuasai oleh negara-negara yang tidak hanya mempunyai kondisi-kondisi yang serupa, tetapi juga melakukan perdagangan terhadap produk-produk yang serupa –sebagai contoh, negera seperti Sweden yang melakukan kedua-duanya baik ekspor dan impor mobil. Perdagangan macam ini mungkinkan spesialisasi dan produksi skala besar, yang mengakibatkan harga lebih rendah dan keanekaragaman komoditas yang lebih banyak.
Economies of scales dikombinasikan dengan pengurangan biaya-biaya pengangkutan juga membantu menjelaskan mengapa sumbangan pertumbuhan populasi yang besar terjadi pada kota-kota besar dan mengapa aktivitas ekonomi yang serupa memusat pada lokasi yang sama. Biaya-biaya pengangkutan lebih rendah dapat memicu self-reinforcing process dimana pertumbuhan populasi kota metropolitan mengakibatkan peningkatan produksi skala besar, upah riil meningkat dan supply barang yang terdiversifikasi. Hal ini, pada gilirannya, merangsang lebih lanjut migrasi ke kota. Teori-teori Krugman menunjukkan bahwa hasil proses – proses tersebut dapat menyebabkan daerah-daerah terbagi menjadi pusat kota yang ber-teknologi tinggi dan daerah pinggiran (periphery) yang kurang berkembang.
Teori ini mengupas sisi gelap lain globalisasi yang cenderung meningkatkan tekanan baru pada beban kehidupan di perkotaan, karena spesialisasi membuat manusia tersedot ke pusat-pusat perkotaan sebagai konsentrasinya.
Teori Krugman dianggap bisa menjelaskan bagaimana globalisasi cenderung menghasilkan konsentrasi, baik dalam hal barang apa yang diproduksi maupun lokasi barang tersebut dibuat. Hasil dari proses-proses ini mengakibatkan wilayah-wilayah menjadi terbagi ke dalam dua kontras, yakni wilayah inti di perkotaan sebagai konsentrasi teknologi tinggi dan wilayah peri-peri yang lebih terbelakang.
Isu semakin terkonsentrasinya pertumbuhan di wilayah perkotaan menjadi isu utama di mana-mana, terutama di negara berkembang. Teori Krugman menyimpang dari teori tradisional yang mengasumsikan perbedaan antarnegara sebagai dasar terjadinya spesialisasi dalam perdagangan. Perbedaan ini, menurut teori tradisional, memungkinkan suatu negara memperbaiki posisinya melalui komplementaritas.
Namun, teori Krugman membeberkan bagaimana dalam faktanya, perdagangan dunia didominasi hanya oleh segelintir negara, yang bukan saja memiliki kondisi serupa, tetapi juga memperdagangkan produk yang sama. Teori Krugman dianggap mampu menggabungkan perdagangan internasional dan geografi ekonomi yang selama ini dianggap sebagai dua sub-disiplin ilmu yang terpisah.
NATIONAL COMPETITIVE ADVANTAGE (M. Porter)
Wacana tentang bagaimana membangun daya saing negara dilontarkan Michael Porter tahun 1990 dalam bukunya The Competitive Advantage of Nations. Karya Porter merupakan evolusi pemikirannya tentang bagaimana sebaiknya negara membangun daya saing. Dalam bagian pertama uraiannya Porter mengingatkan perlunya paradigma baru dalam kebijakan ekonomi suatu negara.
Teori Porter tentang daya saing berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Porter menawarkan Diamond Model sebagai tool of analysis sekaligus kerangka dalam membangun resep memperkuat daya saing.
Dalam perjalanan waktu, diamond model-nya Porter menuai kritik dari berbagai kalangan. Pada kenyataannya, ada beberapa aspek yang tidak termasuk dalam persamaan Porter ini, salah satunya adalah bahwa model diamond dibangun dari studi kasus di sepuluh negara maju, sehingga tidak terlalu tepat jika digunakan untuk menganalisis negara – negara sedang membangun. Selain itu, meningkatnya kompleksitas akibat globalisasi, serta perubahan sistem perekonomian mengikuti perubahan rezim politik, menjadikan model diamond Porter hanya layak sebagai pioner dan acuan pertama dalam kancah studi membangun daya saing negara.
Porter mengungkapkan bahwa keunggulan kompetitif suatu bangsa sudah bergeser dari hal-hal yang sifatnya kasat mata seperti sumber daya alam, ke arah penciptaan dan asimilasi pengetahuan. The Competitive Advantages of Nations(1990), membuat analisis yang menarik tentang hal ini dengan menganalogikan bangsa sebagai perusahaan (firm). Analogi ini, meski banyak mendapat kritik, namun tidak sedikit yang mendukung. Mantan Presiden AS sendiri, Bill Clinton, sering menggunakan retorika karakteristik persaingan bangsa sebagai perusahaan besar yang sedang bersaing dalam pasar global (Paul Krugman. 1994. Competitiveness: a dangerous obsession', Foreign Affairs, 73 (2):28-44).
Menurut Porter, dalam persaingan global, suatu perusahaan dapat bertahan dan unggul hanya jika memiliki keunggulan atas biaya (cost-based advantage) dan keunggulan atas produk (product-based advantage). Keunggulan atas biaya mencerminkan perusahaan beroperasi secara efisien, dan keunggulan atas produk indikasi perusahaan senantiasa melakukan penelitian dan pengembangan produk-produk baru yang inovatif.
Dengan menganalogikan hal ini, paradigma keunggulan kompetitif bangsa adalah efisiensi (keunggulan atas biaya) dan inovasi (keunggulan atas produk). Keberhasilan ekspor produk manufaktur negara industri baru dan negara berkembang misalnya, adalah salah satu contoh keunggulan atas biaya (di negara berkembang hal ini didukung kebijakan relokasi industri dari negara-negara maju).
Kini, setelah berhasil mengembangkan efisiensi, negara industri baru dan sebagian negara berkembang dihadapkan pada masalah, bagaimana meningkatkan efisiensi sekaligus mengembangkan produk-produk inovatif. Sebab, bila tetap mempertahankan keunggulan komparatif dan keunggulan atas biaya, tanpa beranjak pada pengembangan produk-produk kompetitif, niscaya akan tertinggal.
Di tahun 70an dan 80an, salah satu contoh paling berhasil mewujudkan keunggulan efisiensi-inovasi adalah industri elektronik Jepang. Pada awalnya, industri-industri elektronik Jepang mampu bersaing dalam hal harga. Tahap selanjutnya, industri tersebut unggul dalam produk-produk futuristik lewat inovasi yang mengagumkan.
Porter juga mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu bangsa saat ini, sangat ditentukan oleh kapasitas belajarnya. Konsep keunggulan kompetitif Porter mensyaratkan penciptaan dan asimilasi pengetahuan ini sebagai ujung tombak inovasi. Inovasi inilah yang akan memberikan keunggulan kompetitif. Bangsa yang tenggelam dengan kejayaan masa lalu dan sulit berinovasi, tidak akan pernah mencapai suatu keunggulan kompetitif.
Porter dengan tegas menuliskan bahwa kesejahteraan suatu bangsa harus diciptakan, bukan diwariskan. Ini berarti setiap generasi di suatu bangsa dituntut untuk berinovasi dan memiliki kapasitas belajar yang tinggi.